SECARA GEOLOGIS wilayah Aceh merupakan daerah yang
sangat rawan terjadi gempa bumi. Daerah ini terletak pada tepian
tumbukan lempeng Samudera Hindia dengan lempeng benua Asia. Berdasarkan
data seismisitas tercatat beberapa gempa dengan magnitude cukup besar
pernah terjadi di wilayah ini. Sejarah kegempaan daerah ini diduga tidak
hanya terjadi pada kurun 500 tahun terakhir, namun juga pernah terjadi
beberapa abad yang lalu.
Pada umumnya arsitektur bangunan tradisional Aceh yang berupa rumah
panggung dengan bahan yang relatif lentur untuk menahan goncangan gempa.
Demikian pula letak pemukiman pada zaman Kerajaan Samudera Pasai yang
relatif jauh dari garis pantai. Bahkan tercatat perpindahan pusat
pemerintahan dari pantai ke lokasi yang lebih ke pedalaman, menunjukkan
kesiapsiagaan terhadap terjadinya bencana tsunami.
Gempa bumi dan tsunami yang terjadi pada 26 Desember 2004 yang
melanda Nanggroe Aceh Darussalam menyebabkan lebih dari 240 ribu orang
meninggal dan kehilangan sanak saudara. Selain korban jiwa, kerusakan
sejumlah bangunan dan infrastruktur tidak kalah parahnya. Gempa bumi
berkekuatan 9 Skala Richter yang menggoyang Aceh yang diikuti tsunami
terjadi saat masyarakat memulai aktivitasnya, yaitu pukul 07:58:53 WIB
ini merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir.

Untuk mengenang tragedi tersebut,
Pemerintah Republik Indonesia membangun sebuah museum. Konsep awal dari
museum ini menyimpan dokumentasi yang terkait dengan gempa bumi dan
tsunami 26 Desember 2004, agar generasi-generasi mendatang dapat
mengenang, mengenal, dan belajar dari peristiwa tersebut.
Museum Tsunami Aceh ini berfungsi sebagai:
- Sebagai objek sejarah,
- Pusat penelitian dan pembelajaran tentang tsunami,
- Sebagai simbol kekuatan dan kebersamaan Masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami.
- Sebagai peringatan adanya ancaman bencana gempa bumi dan tsunami, tidak saja di Aceh, tetapi di seluruh wilayah Indonesia.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas
prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus merangkap panitia. Di antaranya
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias sebagai penyandang
anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sebagai
penyandang anggaran perencanaan, studi isi, penyediaan koleksi museum,
dan pedoman pengelolaan museum. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebagai penyedia lahan dan pengelola museum, Pemerintah Kota
Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana lingkungan museum dan
Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) cabang NAD yang membantu penyelenggaraan
sayembara prarencana museum.
Perencanaan detail Museum, situs dan
monumen tsunami dimulai pada Agustus 2006 dibangun di atas lahan seluas
10,000 m2 yang terletak di Kota Banda Aceh. dengan anggaran dana sekitar
Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (BRR) untuk bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk isinya juga berisi berbagai
benda peninggalan sisa tsunami.

Museum yang dirancang dengan judul ‘Rumoh
Aceh’ as Escape Hill ini menggabungkan konsep rumah Aceh (rumah bertipe
panggung) dengan konsep escape building hill atau bukit untuk
menyelamatkan diri, sea waves atau analogi amuk gelombang tsunami, tari
tradisional saman, Cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep
masyarakat urban.
Museum tsunami terdiri dari 3 lantai dan 1
lantai dasar. Lantai dasar yang dapat dicapai dengan melalui “lorong
tsunami” merupakan lokasi yang berfungsi untuk mengenang kejadian
tsunami di Aceh. Pengunjung dapat melihat rangkaian peristiwa tsunami di
memorial hall serta dapat mengirimkan doa ntuk para korban tsunami Aceh
yang nama namanya terpasang di “sumur doa”.

Dari lantai dasar pengunjung akan
langsung menuju Lantai 2 melalui “lorong kebingungan” dan jembatan. Dari
jembatan ini akan tampak suasana lantai 1 yang merupakan area terbuka
yang dilengkapi dengan kolam di tengahnya dan beberapa prasasti berupa
batu bulat bertuliskan negara-negara yang memberikan bantuan pada saat
terjadi bencana di Aceh. Jika pengunjung melihat ke arah atas jembatan
maka nama negara-negara tersebut juga terpasang beserta bendera
masing-masing negara di bagian atap museum.
Pada lantai 2 Museum Tsunami terdapat
beberapa ruangan yang berisi rekaman kejadian tsunami di Aceh tanggal 26
Desember 2004. Disamping gambargambar peristiwa tsunami, di lantai ini
juga terdapat diorama dan artefak-artefak jejak tsunami. Di lantai ini
juga terdapat ruang audiovisual untuk pemutaran film peristiwa gempa
bumi dan tsunami Aceh.

Lantai paling atas atau lantai 3 berisi media-media pembelajaran
(edukasi) berupa perpustakaan serta beberapa panel edukasi dan alat
peraga. Pengunjung dapat menikmati pembelajaran yang menarik dengan
media 4D (empat dimensi).
Atap (roof) dari bangunan Museum Tsunami merupakan sebuah ruang
terbuka yang luas dan didesain dapat dimanfaatkan untuk ruang
penampungan (shelter) pada saat terjadi bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar